Jumat, 01 Maret 2024

KABIRO PPH DPC PERMAHI MAKASSAR Angkat Bicara Terkait Kontroversi Pangkat Kehormatan Prabowo Subianto

Makassar- Kepala biro (KABIRO) Penelitian dan Pengembangan Hukum Perhimpunan Mahasiswa Hukum Indonesia Dewan Pimpinan Cabang Makassar (PERMAHI DPC MAKASSAR), (02/02/2024). memberikan analsisa hukum terkait pemberian pangkat kehormatan Prabowo Subianto oleh Presiden Joko Widodo. 

pada tanggal 21 Februari 2024 Presiden Joko Widodo menerbitkan keputusan presiden (keppres) dengan Nomor: 13/TNI/Tahun 2024 tentang penganugerahan pangkat secara istimewa berupa jendral kehormatan.

Alwi Jayadi menganggap hal itu sangat kontrofersi dikarenakan tidak berlandaskan dengan aturan hukum, karena kenaikan pangkat dalam tubuh TNI seharusnya hanya diberikan kepada prajurit aktif, sebagaimana yang termaktub dalam Undang-Undang No.20 Tahun 2009 tentantang gelar tanda jasa dan gelar kehormatan, terkhusus dalam pasal 33 ayat 3a yang menyatakan pemberian pangkat kehormatan hanya diberikan kepada prajurit aktif dan belum pensiun.

Apalagi Prabowo Subianto di pensiunkan dari militer bukan karena usia namun karena di berhentikan sesuai dengan KEP/03/VIII/1998/DKP dan keppres No.62 Tahun 1998 hal ini tentunya akan menjadi pertanyaan besar ketika Prabowo di beri pangkat kehormatan, 

Alwi Jayadi juga mengatakan bahwa negara kita adalah negara hukum sebagaimana diatur dalam pasal 1 ayat 3 UUD 1945 artinya untuk menjalankan roda bernegara harus mengikuti aturan hukum yang ada baik masyarakat sipil maupun pejabat negara, termasuk presiden sebagaimana dijelaskan dalam adagium hukum "potentia debet sequi justitiam, non antecedere" artinya "kekuasaan mengikuti hukum dan bukan sebaliknya" adagium itu berfungsi membatasi kekuasaan negara agar tidak bertindak sewenang-wenang sebab "potentia non est nisi ad bonum" "kekuasaan itu diberikan untuk kebaikan publik" dan juga "sequi debet potential justitiam, non praecedere" artinya "kekuasaan seharusnya mengikuti keadilan, bukan sebaliknya".

disini berlaku postulat "inde datae leges ne fortiori omnia posset" yang berarti "hukum dibuat untuk membatasi kekuasaan para penguasa", setiap tindakan negara berpijak pada azas legalitas, artinya harus berlandaskan dengan aturan yang jelas, perbuatan yang mempertontonkan kesewenang-wenangan bisa menjadi awal dari demoralitas pada kultur berbangsa dan bernegara kita, bukan tak boleh pemberian pangkat namu, seharusnya tak melanggar aturan baik secara konstitusi, ataupun etika dan moral.

Jokowi juga pernah menyampaikan dalam pidatonya pada Sidang Tahunan MPR di kompleks perlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (16/8/2022) menyatakan bahwa pemerintah harus menjadikan pelanggaran HAM berat masa lalu untuk menjadi perhatian serius agar dapat segera di selesaikan, termasuk penculikan paksa 13 Aktivis 1997-1998 yang dimana Prabowo diduga terlibat dalam peristiwa itu, namun sampai hari ini pemerinta belum bisa memberikan kepastian hukum atas peristiwa tersebut, ketidak mampuan pemerintah menyelesaikan pelanggaran ham masa lalu hanya akan memperpanjang impunitas di Republik ini

"Menurut saya Jokowi terlalu tergesa-gesa dalam pemberian jabatan itu padahal Masi banyak yang perlu dibenahi termasuk menuntaskan kasus HAM agar tidak menjadi utang moral pada bangsa dan negara, pemberian jabatan itu juga terkesan sangat politis apa lagi di momen seperti ini, hal itu bisa menjadi bola liar masyarakat dalam menginterpretasikan pemberian jabatan," Tegas Alwi Jayadi

0 comments:

Posting Komentar